Click di bawah untuk informasi baru...

Rabu, 08 September 2010

Imajinasi Dan ilmu Pengetahuan

“Dunia ini tidak punya batas-batas tertentu, dan adalah proses imajinasi yang terus menerus”--Mark C. Taylor & Esa Sarrineen (Imagologies—Media Philosophy, 1994)

Modus berpikir Aristotelian yang lebih mengedepankan “wadah” (Form) daripada isi dalam pelacakan pengetahuan masih terlihat dominan dalam diskursus keilmuan sampai sekarang.
Kebenaran muncul dalam prinsip-prinsip baku yang diukur keabsahannya semata-mata melalui logika. Logika Aristotelian berkutat pada kalkulus jenis. Kalkulus jenis adalah pengelompokan sesuatu sebagai bagian dari sesuatu yang lain atau bagian dari sesuatu yang lainnya lagi. Pendek kata—menurut Aristoteles kebenaran sebuah pengetahuan akan menjadi absah apabila terdapat keterkaitan logis antara satu proposisi dengan proposisi lainnya—patuh pada penggunaan logika kategorik: sillogisme.

Dominasi logika Aristotelian melahirkan pengetahuan yang serba “sumpek”. Kebenaran hanya menjadi permasalahan logika, tentang kemasuk-akalan, dan tentang supremasi rasio. Sesuatu yang tidak dapat dinalar secara logis tersingkir dari perbendaharaan pengetahuan yang benar; misalnya mitos atau legenda.

Ketidakpuasan terhadap penggunaan logika Aristotelian yang kemudian melahirkan pemberontakan terhadapnya muncul dari tradisi filsafat post-strukturalisme. Para filsuf post-strukturalis terutama Roland Barthes dan Jacques Derrida, menaruh curiga dengan segala bentuk pendefinisian pengetahuan dalam kategori logika yang cenderung memutlakkan sebuah konsep kebenaran. Pemutlakan konsep kebenaran melahirkan apa yang disebut Derrida sebagai logosentrisme. Logosentrisme dalam tradisi epistemologis kemudian melahirkan fondasionalisme: bahwa kebenaran telah mengupayakan dasar-dasar pengetahuan yang pasti “benar” bagi dirinya sendiri.

Gugatan para filsuf post-strukturalis, terutama Barthes pada logika deduktif-kategorik Aristotelian pada prinsipnya terletak pada bagaimana bahasa itu difungsikan. Bahasa dalam logika Aristoteles seolah-olah menjadi kebenaran itu sendiri. Bahasa kemudian memerankan fungsi representasi kebenaran. Bahasa dalam perannya sebagai “fungsi representasi kebenaran” semacam ini yang ditolak oleh Barthes. Dia melihat fenomena bahasa menjadi semacam lautan semiotik mengapung yang kaya raya—sehingga setiap bahasa pada dasarnya mempunyai logikanya sendiri. Bahasa adalah sistem tanda yang mewakili keberagaman kepentingan yang ada di baliknya atau sesuatu yang berusaha diwakili olehnya. Bahasa puisi tentunya akan sangat berbeda dengan bahasa ilmiah. Bahasa akhirnya tidak hanya terbingkai dalam logika saja, tetapi bahasa dalam guratan pemikiran Barthes akan hidup dan tumbuh subur dalam wilayah “imajinasi berbahasa”. Imajinasi berbahasa muncul dalam ruang publik yang tidak terbatas—bukan semata keahlian yang dimiliki oleh elit intelektual tertentu. Barthes secara tidak langsung adalah filsuf yang memberikan ruang yang lebar terhadap peran imajinasi dalam proses pemerolehan pengetahuan. Akhirnya menjadi makin jelas bahwa dekonstruksi berbagai unsur epistemologis manusia sehubungan dengan verbalisme realitas dan kenyataan, justru membawa suatu kebangkitan (filsafat) imajinasi. Lambat laun imajinasi diterima sebagai salah satu sumber pengetahuan yang sangat potensial. Lantas sejauh mana peran imajinasi dalam proses pemerolehan kebenaran?

Ada sebuah karya yang dianggap paduan dari konsep imajinasi filosofis dan psikologis, yakni L’imaginaire: Psychologie phenomenogique de l’imagination (1940)—telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Psikologi Imajinasi” (Yayasan Bentang, 2001)—karya seorang filsuf eksistensialis terkemuka Perancis, Jean Paul Sartre. Ada sebuah konsep yang begitu menarik yang dibahas Sartre dalam bukunya itu, yaitu tentang “imajinasi kreatif”. Imajinasi kreatif ini terkait dengan kemampuan pikiran seseorang untuk merasakan apa yang disebut Kant “pengalaman estetik”. Ketika seseorang mampu melihat seraut wajah atau seepisode cerita dalam sebuah lukisan, atau merasakan emosi dalam selantun lagu yang tidak bisa dirasakan oleh orang lain, maka orang itu memiliki imajinasi kreatif. Dengan kata lain, tidaklah disebut imajinatif jika melihat wajah dalam sebuah lukisan yang juga bisa dilihat orang lain. Imajinasi kreatif ini disebut Sartre sebagai “tindakan menciptakan sebuah objek dalam ketiadaannya”.

Dalam wacana cultural studies terdapat buku yang berjudul The Wake of Imagination—Toward A Postmodern Culture (1994), karya Richard Kearney yang membahas posisi imajanisai secara panjang lebar. Dalam bukunya tersebut dia mengatakan bahwa imajinasi sebenarnya telah lama menjadi “orang tua” bagi bahasa. Bahkan dapat dikatakan imajinasi itu mendahului realitas yang hendak direpresentasikan; realitas secara ekstrem dianggap sebagai “pantulan pucat” dari imajinasi. Meskipun demikian, bukan berarti representasi itu selalu melahirkan pesimisme berkepanjangan karena bahasa ternyata tidak cukup mewakili upaya representasi. Permasalahannya terletak dengan menggunakan jenis bahasa yang seperti apa upaya representasi dilakukan? Jika hanya mengandalkan bahasa denotatif-logis, kerja representasi tentunya hanya akan mereduksi. Dengan mengacu pada Heidegger, bahasa konotatif atau bahasa puisi sebenarnya lebih berpotensi memunculkan “ketidaktersembunyian” (aletheia) karena lebih membuka pengalaman, bukan menciutkannya. Oleh karena bahasa puisi hendak meng-imaji-kan sesuatu, maka hanya imajinasilah yang mampu memberikan konteks imajinatif pada pikiran (Heidegger, Poetry, Language, Thought, 1971).

Dari sudut pandang yang ironis, Jean Baudrillard menilai bahwa imajinasi kreatif telah membawa kita untuk bernaung dalam kebudayaan postmodern yang dicirikan dengan budaya citra. Kebudayaan postmodern merupakan kebudayaan yang digerakkan oleh imajinasi kreatif yang tidak mampu mengendalikan dirinya, sehingga menjadi “liar” dan tak henti-hentinya memproduksi simbol-simbol seduktif. Simbol menjadi lebih nyata daripada realitas yang diwakilinya. Dia menyebut realitas yang telah dikangkangi oleh simbol-simbol itu sebagai hiper-realitas. Realitas yang tidak mempunyai rujukan jelas dalam dunia nyata. Sebagai contoh, Andy Warhol (1928-1987), eksponen seniman Pop Art, seorang pelukis Amerika, seniman grafis, dan pembuat film pernah berkomentar dalam sebuah wawancara, “Jika anda ingin tahu segalanya tentang Andi Warhol, cukup lihatlah permukaan lukisan, film saya, dan saya sendiri, dan di situlah saya. Tak ada lagi yang tersembunyi di belakangnya.” Pendek kata, untuk mengetahui Warhol, tidaklah perlu bertemu bertatap muka dan melakukan dialog panjang dengannya, tetapi cukup dengan menangkap citra dari karya-karyanya.

Menurut Baudrillard, melalui imajinasi kedangkalan dirayakan dan kreatifitas diekstremkan—imajinasi merupakan sumber kreatifitas dan produktifitas tetapi sekaligus juga pemicu munculnya kegalauan budaya citra.

Terlepas dari kesan optimis maupun sinis terhadap kedudukan imajinasi, tidak dapat dihindari bahwa imajinasi merupakan agen pemroduksi pengetahuan yang paling mempunyai masa depan.

Kedigdayaan Imajinasi

Dalam perspektif orang awam imajinasi sering diposisikan dalam arti peyoratifnya. Imajinasi lantas disamakan dengan ilusi, khayalan, dan fantasi—karena imajinasi mempunyai kecenderungan “menggelayut” dan tidak memberikan arahan real dalam identifikasi pengetahuan. Dengan begitu, imajinasi dinomorduakan dalam perannya sebagai sumber pengetahuan. Orang sering mengajak kita untuk berpikir realistis ketika kita mempunyai gagasan yang muluk-muluk. Allan Loy McGinnis, dalam sebuah buku best seller-nya, The Power of Optimism (1993) mengatakan bahwa anjuran untuk berpikir realistis sebenarnya menyembunyikan kekhawatiran-kekhawatiran tertentu. “Worry is misuse of imagination” (kekhawatiran adalah imajinasi yang disalahgunakan). Kekhawatiran yang berlebihan menimbulkan kecemasan. Soren Kierkegaard berpendapat bahwa kecemasan dapat terjadi akibat sikap yang memandang berlebihan atas bahaya, dan memandang rendah kemampuan kita.

Memaksakan penafsiran dengan mengatakan bahwa imajinasi tidak beda dengan hayalan, fantasi, atau ilusi, sebenarnya sikap yang kurang jeli. Sesungguhnya, istilah fantasi itu lebih berkaitan dengan daya membayangkan sesuatu, khususnya hal yang tidak real atau yang tidak mungkin terjadi. Fantasi sepadan dengan khayalan. Khayalan merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, illusion, sehingga khayalan juga berarti ilusi. Ilusi secara common sense berarti ide, keyakinan, atau kesan tentang sesuatu yang jelas-jelas keliru.

Jikalau fantasi (daya yang menghasilkan khayalan) itu biasanya dihubungkan dengan gambaran objek yang tidak mungkin dan memang tidak ada dalam kenyataan, maka imajinasi dipahami sebagai daya yang menghasilkan gambaran objek yang mungkin (= potensial ada) atau logis. Imajinasi tidak terkait dengan penggambaran yang membabi buta tentang suatu objek atau konsep tertentu.

Dalam bahasa inggris, ada beberapa variasi kata dari “imajinasi”, yaitu imagery, imaginary, dan imagine. Imagery sesungguhnya berarti suatu penggunaan bahasa figuratif untuk menghasilkan gambaran, objek, ide, dalam pikiran pembaca atau pendengar, sehingga istilah ini sering digunakan oleh para penyair dalam karya-karyanya. Imaginari sering diartikan sebagai perumpamaan/tamsil, meskipun ia memiliki arti yang lebih luas dari sekedar perumpamaan. Selanjutnya, imaginary dalam bahasa Indonesia sering diartikan sebagai yang imajiner atau khayal; contohnya bilangan imajiner sebagai bilangan khayal. Akhirnya, kata imagine (kata kerja) berarti membentuk suatu gambaran mental tentang sesuatu, atau memikirkan sesuatu sebagai bisa terjadi atau mungkin. Imagine sendiri berarti membayangkan, meskipun pada prakteknya terdapat perbedaan antara “membayangkan” dan “mengimajinasikan”. “Membayangkan” mempunyai konotasi sebagai sesuatu yang lebih mudah dilakukan karena berhubungan dengan sesuatu yang menyenangkan. Sedangkan “mengimajinasikan” itu merambah wilayah yang lebih luas sehingga tidak dapat direduksi sebagai sekedar membayangkan. Maka dari itu, imajinasi lebih tepat diartikan sebagai kekuatan potensial yang telah memberikan kontribusi berharga bagi lahirnya pengetahuan.

Sekedar untuk membedakan, haruslah diketahui proses pemerolehan pengetahuan melalui imajinasi dengan melalui berpikir linear dan logis. Berpikir merupakan aktifitas penelusuran pengetahuan yang telah dibatasi dengan aturan-aturan atau konsep tertentu yang sifatnya membatasi, bahkan mengikat, misalnya anjuran berpikir lurus melalui hukum-hukum logika Aristotelian—dan adapun cara berpikir yang tidak mematuhi hukum-hukum logika tersebut dikatakan terjatuh dalam “sesat pikir” (the fallacy). Sedang dalam berimajinasi tidak lagi dibutuhan aturan berpikir runtut. Semua konsep kebenaran sementara waktu ditanggalkan dan ditangguhkan (Derrida menyebut proses ini sebagai differance) dan membebaskan pikiran untuk melakukan penelusuran tanpa batas guna mencari insight baru yang kedatangannya sering serentak-mendadak, sehingga pikiran sadar kita tidak dapat melacaknya lagi.

Walhasil, pemahaman tentang peran imajinasi dalam proses pengetahuan membawa banyak hal yang sering tak terduga. Terminologi imajinasi sendiri senantiasa terkait dengan pengertian “imaji”, “citra”, “kesan”. Tatkala Einstein menemukan rumus E=mc2 tidakkah dia meng-imaji-kan variabel-variabel itu dalam pikirannya? Ketika Newton tiba-tiba menyadari teori gravitasinya karena melihat buah apel jatuh ke tanah, tidakkah dia men-citra-kan sesuatu dalam bayangannya? Imajinasi akan “imaji” sesungguhnya yang telah melahirkan kedua teori besar tersebut.

Disadari atau tidak, peran imajinasi begitu besar dalam melahirkan teori-teori agung di bidang ilmu pengetahuan. Ketika para ilmuwan sudah kehabisan ide untuk memecahkan suatu permasalahan—karena logika telah menunjukkan keterbatasan-keterbatasannya, terkadang imajinasi bebas mereka justru yang mempunyai peranan besar dalam pemecahan problem-problem keilmuan. Bahkan Einstein pernah mengatakan, ”imajinasi lebih penting daripada pengetahuan”. Imajinasi bergerak “liar” mencari insight-insight baru—kemudian memberikan petunjuk-petunjuk yang menyegarkan.

Dalam kehidupan sehari-hari sebenarnya imajinasi juga tidak dapat dipisahkan dari manusia. Karena pada dasarnya manusia tidak dapat membebaskan diri dari imaji-imaji atau citra-citra tertentu tentang realitas di sekitarnya. Hans George Gadamer dalam Philosophical Hermeneutics (1977) pernah mengatakan bahwa manusia adalah makhluk hidup yang tumbuh dalam ruang sosial dan masa historis tertentu. Citra tentang manusia dan lingkungannya selalu dibentuk dan direkayasa dalam lembaran sejarah. Sehingga, tidaklah berlebihan ketika Simone Weil menganggap bahwa imajinasi dan fiksi telah membentuk lebih dari tiga perempat kehidupan nyata kita.

Kemudian jika hendak ditelusuri lebih jauh, pengetahuan yang telah diperoleh manusia sebenarnya muncul dari imaji tentang objek tertentu, entah itu merujuk pada yang real atau yang masih potensial menjadi real. Kemudian imaji-imaji tersebut diolah dalam ruang imajinasi yang kemudian menghasilkan insight tertentu—yang sifatnya tidak netral lagi karena perbedaan interest bawah sadar manusia yang telah mempengaruhi interpretasi terhadap imaji-imaji tersebut. Ketika imajinasi tentang “imaji” hendak dirumuskan menjadi pengetahuan yang lebih sistematis dan berarah, baru kemudian intelek manusia mengambil peranan sebagai perumusnya. Jadi sebenarnya antara rasio (intelek) dengan imajinasi tidaklah bertentangan, malahan keduanya sebenarnya saling melengkapi secara fungsi.

Jika anda ingin jadi orang besar maka berimajinasilah! Lihat saja, “saya selalu merasa bahwa aset terbesar saya bukanlah daya fisik, melainkan kemampuan mental saya”. Ini pernyataan Bruce Jenner, seorang atlet peraih medali emas Olimpiade 1976 untuk cabang olah raga Decathlon—tiga kali lebih berat dibanding Triathlon (renang, sepeda, dan lari).

Akhirnya, dengan daya imajinasi yang terdapat dalam diri manusia, dunia menjadi tempat berteduh yang nyaman karena hasrat untuk mengakrabi dunia menjadi mungkin dan niscaya. Dengan imajinasi dunia menghadirkan kecerahannya kembali—yang mungkin selama ini telah terjerembab dalam kekelaman yang nan gelap akibat dominasi penuh dari modus berpikir—yang oleh Heidegger disebut sebagai modus berpikir non-puitis. Alam bagi modus berpikir non-puitis adalah objek formulatif yang hendak didefinisikan menjadi kebakuan-kebakuan formulatif. Alam menjadi gersang dan kering karena kehilangan misteri keindahannya. Lantas sebagai stimuli untuk refleksi, imajinasi hendaknya diposisikan secara proporsional untuk kemudian dipersandingkan-bandingkan dengan sumber-sumber pengetahuan lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar